Selasa, 06 Oktober 2009

PERGULATAN TNI DI TENGAH PROSES DEMOKRATISASI

Optimisme mesti selalu hidup meski di ­tengah berbagai kendala dan ­keterbatasan. Harapan harus terus ­dipupuk di tengah ­kritik dan hujatan yang ­mengiringi lintasan ­perjalanan Tentara Nasional ­Indonesia (TNI) ke depan. Kematangan ­hanya akan tumbuh apabila setiap kritik dan masukan ­diterjemahkan menjadi energi ­pendorong ke arah perubahan
dan perbaikan.


Harus diakui bahwa kehidupan demokrasi di Indonesia sudah semakin membaik dengan segala centang perenang di dalamnya. Hal ini terutama ditandai dengan semakin tegasnya pemisahan fungsi dan peran antara sipil dan militer serta terjaminnya kebebasan ekspresi dan pers dalam koridor tanggung jawab. Ini harus diberi catatan: plus!
Tapi optimisme itu memang masih menyisakan sejumlah tantangan. Ada PR yang belum sepenuhnya dituntaskan. Seperti menyangkut penegakan hukum dan reformasi lembaga peradilan, praktik korupsi, penyelesaian masalah pelanggaran hak asasi manusia, penghapusan berbagai bentuk diskriminasi, serta reformasi kelembagaan dan birokrasi.

Perubahan Paradigma
Dari sudut pertahanan keamanan, perubahan paradigma TNI yang dimotori oleh sejumlah elite perwira reformis dan berwawasan jauh ke depan, pantas diacungkan jempol. Terutama ketika desakan reformasi membuat TNI harus menjaga jarak dengan kekuasaan dan memperhatikan tuntutan masyarakat sipil dalam koridor demokrasi.
Memang sekian lama citra TNI terpuruk bahkan sampai ke titik nadir. Kesan bahwa TNI di bawah Orde Baru menjadi alat kekuasan, bukan alat negara, cukup kental. Menjelang dan setelah Orde Baru runtuh, TNI mengambil posisi yang tegas. Mereka ambil bagian sebagai bagian penting dari pendukung reformasi.
Pada saat yang sama, perubahan-perubahan konstelasi ekonomi politik global dan regional menuntut kinerja TNI yang lebih profesional. Tentu diplomasi lewat pertahanan keamanan adalah salah satu cara yang bisa ditempuh menghadapi tantangan global dan regional, di samping lewat diplomasi politik, ekonomi, atau budaya yang juga perlu ditingkatkan untuk menjalin kerjasama dan saling pengertian antarbangsa. Bahkan dalam “dusun global”, ketika lalu-lintas manusia semakin intens, diplomasi antarindividu pun menjadi keharusan.
Sedari awal disadari, TNI memiliki peranan penting dalam lintasan sejarah pertumbuhan bangsa ini. Puncak keemasan peran mereka terjadi pada zaman ­pemerintahan Orde Baru. Dengan slogan “Dwifungsi”-nya, TNI menjadi sebuah lembaga yang tak melulu berurusan dengan masalah pertahanan dan keamanan belaka. Ia menjadi primadona dalam posisi-posisi strategis yang pada dasarnya tak mempunyai hubungan dengan TNI sebagai alat keamanan negara.
Di masa Orde Baru, posisi TNI serta merta dipertanyakan fungsi dan perannya. Tak mengherankan bila kejatuhan Soeharto langsung diikuti berbagai perubahan besar pada tubuh TNI yang mulai menata kembali perannya dalam kehidupan berbangsa. Salah satu tuntutan reformasi 1998 adalah mengembalikan TNI pada fungsinya sebagai alat keamanan negara. Karena fungsi TNI yang instrumentalis itu terhadap negara, maka tak semestinya TNI dilibatkan pada sektor kehidupan negara yang lain, khususnya pada ranah karya birokrasi dan legislatif. Peranan TNI pada masa pra reformasi harus direformasi total hingga TNI hanya berfungsi sebagai alat negara dalam bidang pertahanan dan keamanan.
Proses mengembalikan TNI pada kesejatian fungsi dan perannya sebagai lembaga instrumental negara memang tak semudah membalik telapak tangan. Banyak faktor yang menentukan berhasil-tidaknya usaha tersebut. Yang paling sulit adalah keengganan TNI untuk melepaskan kenikmatan yang dirasakan TNI sekian lama karena hidup dengan berbagai keutamaan yang disediakan oleh negara untuk terlibat dalam ranah politik praktis.
Akan tetapi tuntutan reformasi tak bisa dibendung, pun oleh lembaga TNI ­sendiri. Tak hanya desakan eksternal yang menghendaki adanya perubahan tersebut tetapi juga dari kalangan internal. Para perwira muda yang mempunyai pemikiran reformis juga mendesak perubahan signifikan pada TNI hingga kembali pada jati dirinya sebagai sebuah institusi yang hanya berfungsi dalam menjaga pertahanan dan keamanan bangsa dan negara. Harus diakui ‘diplomasi’ TNI di dalam negeri yang dilakukan dengan inti kekuatan masyarakat sipil mulai menampakkan hasil di sini.
Perkembangan reformasi TNI pasca reformasi mencapai puncaknya ketika UU yang mengatur Tugas, Fungsi dan Peranan TNI disahkan pada tahun 2004 (UU No. 34 tahun 2004). Tugas Pokok TNI menurut Undang-Undang tersebut adalah: ­menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Ketika Undang-Undang tentang TNI disahkan DPR, masalah yang kerap disebut saat itu oleh TNI dengan gerakan separatis di Aceh masih belum padam. Saban hari masih kerap terdengar berita pertempuran yang terjadi antara TNI dan tentara GAM yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Tak heran kalau reformasi yang didengung-dengungkan oleh pemerintah maupun oleh TNI sendiri, bahkan dengan kelahiran sebuah Undang-Undang khusus tentang TNI pun, belum mampu membendung sejumlah kritik yang ditujukan kepada TNI terkait dengan pendekatan yang ditempuh dalam menyelesaikan konflik Aceh. Publik masih sanksi dengan keinginan TNI untuk lahir kembali menjadi sebuah institusi pertahanan dan keamanan yang mempunyai peran utama melindungi tanah tumpah darah Indonesia. Fakta di lapangan yang menunjukkan munculnya korban-korban dari rakyat sipil serta deretan dugaan pelanggaran HAM tak mengubah pandangan lama yang melekat pada TNI sebagai institusi yang acuh terhadap HAM yang menjadi salah satu pilar utama negara demokrasi.

Tantangan Pasca-Kesepakatan Damai Aceh
Pada satu titik perjalanannya, pergulatan peran TNI dalam dinamika perjalanan bangsa semakin diuji dalam kasus Aceh. Masalah Aceh memang kemudian menemukan jalan keluar. Momentum baru dari sejarah itu terjadi ketika pemerintah RI menandatangani kesepakatan Helsinki yang menandakan era baru kehidupan warga Aceh pada Agustus 2005. Peranan militer yang sebelumnya begitu kuat, perlahan-lahan diambil-alih oleh sipil, demikian halnya kekerasan yang menjadi solusi atas konflik yang terjadi beralih ke solusi damai melalui Forum Helsinski.
Untuk merespons perkembangan ini, DPR pun menyusun Undang-Undang khusus tentang Otonomi Aceh yang kini menjadi acuan kehidupan bermasyarakat di Aceh.
Sejak MoU Helsinski dan pengesahan UU Otonomi Khusus Aceh, kisah tentang kekerasan yang disebabkan oleh bentrokan antara TNI dan GAM nyaris tak terdengar lagi. GAM sendiri dalam perkembangan politik lokal akhirnya menyatukan aspirasi politiknya melalui partai politik lokal. Dari sinilah titik berangkat reformasi TNI menemukan wajah yang sesungguhnya.
Perkembangan lain terkait reformasi TNI ini nampak dalam kesediaan TNI untuk tidak lagi terlibat dalam politik praktis sebagaimana warga sipil umumnya. Sebagaimana dalam Pemilu 2009 yang baru saja berlalu, sangat gamblang terlihat wajah baru TNI yang mulai secara utuh kembali pada tugasnya yang utama. Dengan kesediaan mereka untuk tidak masuk dalam kontestasi sebagai pemilih dan yang dipilih dalam Pemilu, TNI nampaknya sudah berada di track reformasinya yang benar. Walaupun diskursus soal hak TNI sebagai warga negara untuk ikut memilih masih belum final ditutup dari ranah wacana perpolitikan Indonesia. Akan tetapi sekadar menunjukkan adanya keseriusan dari TNI sendiri untuk memisahkan profesionalisme mereka sebagai alat negara dan tugas eksekutif yang menjadi ranah sipil, perkembangan-perkembangan tersebut layak untuk diapresiasi.
Kurang lebih empat tahun pasca MoU Helsinski, sepak terjang TNI yang membuat publik sangsi akan reformasi yang diusahakan nyaris tak terdengar adanya terpaan masalah dalam berita-berita media. Kecuali kita masih mendengar berita dari Papua yang sesekali masih menunjukkan pendekatan keamanan yang kerap digunakan TNI bahkan berhadapan dengan warga negara sendiri yang harusnya dilindungi. Walaupun dalam perspektif keamanan, gangguan keamanan yang menyangkut kesatuan bangsa harus ditangani oleh TNI, akan tetapi apa yang terjadi di Papua seringkali disebut-sebut sebagai pelanggaran HAM karena banyak rakyat sipil yang turut menjadi korban.
Meneropong langkah sukses TNI mereformasi institusi tersebut hingga saat ini, perlu kiranya untuk menekankan lagi bahwa tugas utama TNI adalah menjaga keutuhan bangsa. Satu hal penting yang harus menjadi agenda TNI adalah menangani persoalan tapal-batas yang belakangan seringkali diberitakan media. TNI harus bisa menata kembali profesionalismenya di bidang pertahanan agar setiap saat siap untuk mempertahankan keutuhan wilayah negeri ini. Selain itu, pemerintah juga perlu memberikan dukungan penuh untuk langkah TNI dalam melakukan reformasi internal terutama dengan menyediakan anggaran yang memadai sehingga TNI bisa fokus dalam mengemban tugas pertahanan dan keamanan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang. Tingkat kesejahteraan prajurit diharapkan mampu menunjang ­kinerja TNI dalam berkarya menjaga wilayah dari berbagai ancaman eksternal. Tak pelak TNI harus mampu melahirkan perwira-perwira terbaik yang berwawasan global tapi tetap berkesadaran lokal dan nasional. TNI juga harus bisa membangun infrastruktur lebih modern untuk mengembalikan citra diri TNI yang lebih berwibawa di mata tetangga dan anak bangsa.
Harus diakui selama ini kita cukup terbantu dengan keberadaan ASEAN. Sejumlah masalah kawasan bisa diredam. Masalah yang dimaksud seperti kegagalan membujuk Myanmar untuk membebaskan tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi dan pengungsi etnis Rohingya dan Karen asal Myanmar, yang tak terselesaikan. Juga pertikaian bilateral sesama anggota ASEAN, seperti isu Ambalat antara RI dan Malaysia, isu kuil antara Kamboja dan Thailand, serta jaringan terorisme lintas batas. “Jika tidak ada ASEAN, berbagai masalah akan muncul lebih parah lagi dan berlarut-larut,” demikian seperti pernah dikatakan Menlu Singapura, George Yeo.

Isu Sensitif
Persoalan pertahanan dan keamanan akan semakin menjadi isu sensitif ketika sebagian negara tetangga tidak mampu mengendalikan diri dan membangun sikap saling pengertian. Selama ini kerjasama lewat pengiriman pasukan misi perdamaian, latihan bersama, kunjungan antarperwira tinggi dianggap sebagai bagian penting dari diplomasi. Pertanyaan muncul: akankah di tengah persaingan ekonomi antarnegara yang kian ketat, TNI ditempatkan sebagai mesin perang atau alat perdamaian? Jawabannya, terpulang pada bagaimana hubungan antarnegara bertetangga di masa depan. Yang pasti, tantangannya akan semakin berat.
Kata-kata Wakil Presiden M. Jusuf Kalla pantas digemakan kembali ketika tak sedikit kalangan menghargai keputusan pemerintah dalam memberikan solusi ­konkret bagi perdamaian Aceh. Ketika itu, JK (17 April 2007) menegaskan dengan gayanya: “Perdamaian itu mahal. Tapi jauh lebih murah daripada perang. Perdamaian di Aceh dicapai dengan jalan panjang, berbelit dan penuh kesabaran.”
Melihat persoalan yang demikian berat di tapal batas yang mungkin sewaktu-waktu bakal muncul, menghadapi isu terorisme, di satu sisi, dan mengantisipasi desakan dunia internasional dan tuntutan kekuatan pendukung masyarakat sipil, di sisi lainnya, tak bisa tidak eksistensi TNI diharapkan bukan menjadi alat untuk menciptakan mesin perang dan ketakutan, tetapi mesin kekuatan untuk menjadi alat perdamaian di negeri di mana kemajemukan dan aspirasi dibiarkan hidup dengan elegan dan kreatif.***

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda