Selasa, 06 Oktober 2009

Refleksi Perlawanan dari Balik Sangkar Besi


“Nurani adalah matahari


Nurani adalah kompas kehidupan


Nurani adalah guru segala zaman…”


Penggalan Puisi “Nurani”, karya Moh Jumhur Hidayat (Penjara Sukamiskin, 16 Januari 1992).



Lahir dari keluarga kelas menengah di Bandung pada 18 Februari 1968, Dency---begitulah panggilan lain Moh. Jumhur Hidayat---dididik dan dibesarkan berturut-turut di Jakarta, Bali dan Bandung.

Meski dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga cukup berada, kelas menengah, atau katakanlah “borjuasi kecil”, kepedulian dan sikap kritis tak surut oleh berbagai fasilitas yang dirasakannya pada masa kecil.

Tumbuh sebagai anak dan pemuda di medan yang berbeda telah mewarnai karakternya. Berpindah dari satu kota ke kota lain, dalam formasi kehidupan seorang anak manusia, jelas menggoreskan bekas, untuk hadir sebagai pribadi yang kompleks dan sejak kecil terbiasa menyaksikan alam pluralisme sebagai bagian dari hidupnya.


Pembentukan Karakter

“Dengan terbiasa bergaul dengan anak kalangan biasa di sekitar tempat tinggal saya, saya bisa merasakan bagaimana kesusahan masyarakat dan apa artinya hidup berbagi dengan orang lain,” kenang suami Alia Febyani Prabandari ini.

Selama masa kecil dan remaja, ia menyaksikan kesenjangan sosial hadir menyolok di pelupuk matanya. “Mungkin pengalaman itulah yang ikut mempengaruhi saya,” aku Jumhur.

Mungkin itulah sebabnya pula semangat kemanusiaannnya terus tumbuh di tengah kepeduliannya melihat nasib rakyat. Sikap kritisnya kian menguat bersamaan dengan pertumbuhan usia remajanya yang penuh dengan spirit perlawanan, spirit pembangkangan.

Demonstrasi adalah mode gerakan yang sangat diidolakan oleh Jumhur muda. Dalam beberapa hal hingga kini sikap ini tak sepenuhnya hilang dari dirinya. Baginya gerakan massa yang terorganisasikan dengan baik masih tetap dibutuhkan untuk mengontrol jalannya kekuasaan atau parlemen yang mungkin menyeleweng dari amanat rakyat.

Sikap pembangkangan itu tidak hanya terhadap tembok kekuasaan yang hendak diruntuhkannya, tetapi juga termasuk terhadap orang terdekat yang sangat dicintainya.

Setahun dalam penjara, pada 4 September 1990, persis pada hari ulang tahun bapaknya yang ke-54, Jumhur menulis sepucuk surat dari Rutan Kebon Waru, Bandung, yang antara lain berbunyi, “…ada baiknya jika mulai sekarang Bapak tidak lagi memandang ananda sebagai anak yang masih perlu buaian.”

“Sebaiknya,” demikian tulis Jumhur, “pandanglah ananda sebagai pemuda yang sedang mengejar cita-cita yang sangat banyak menemui tantangan dan rintangan. Semoga apa yang ananda perbuat ini bukan saja bermakna untuk diri ananda, melainkan juga bagi seluruh rakyat Indonesia yang kita cintai.”


Kegelisahan

Surat itu menggambarkan kegelisahan seorang Jumhur muda yang sedang mengalami perubahan dan gejolak jiwa. Kegetiran dan harapan yang berkecamuk dari balik sangkar besi. Kepahitan yang dirasa oleh seorang pemuda usia 20-an tahun, di sebuah negeri di mana tidak sedikit harapan dan impian anak muda selalu menemui jalan buntu dan tak jarang berakhir tragis.

Membaca Surat-surat dari Penjara (Bende Press, 2000), tak sedikit pun nada kecengengan atau keinginan Jumhur muda untuk dikasihani. Ini juga menggambarkan wataknya.

“Mungkin Anda tahu bahwa sampai sekarang saya masih berada di balik terali besi, tetapi saya tidak meminta Anda agar mengasihani saya. Sudah cukup bagi saya jika Anda mau memahami mengapa peristiwa itu sampai terjadi. Cukup Anda memahami, betapa represifnya penanganan terhadap diri saya,” demikian Jumhur menulis surat dari Rutan Kebon Waru, Bandung, pada 5 Agustus 1990, persis untuk mengenang setahun Peristiwa 5 Agustus.

“Sekali lagi, saya tidak ingin Anda mengasihani saya. Karena saya begitu yakin dan serius dengan apa yang saya lakukan,” tegas Jumhur.

Watak ini tampaknya tidak hanya dibentuk oleh tempaan keluarga dan lingkungannya, tetapi mungkin sedikit-banyak juga dipengaruhi oleh bacaan-bacaannya, terutama selama dalam tahanan.

Ia melahap berbagai bacaan yang membuat ide-idenya penuh dengan benturan. Ini terlihat jelas dari kandungan surat-suratnya selama dalam penjara. Ide-ide utopis yang kadang-kadang berbenturan secara tajam dengan realitas kehidupan. Namun, Jumhur tidak menyerap begitu saja apa yang ia baca. Ia selalu membenturkannya dengan realitas yang ia hadapi. Di sini ia tampak reflektif.

“Selama 31 bulan dalam penjara, pilihan produktif yang mungkin dilakukan hanyalah membaca, menulis serta mengajar para narapidana yang masih buta huruf,” demikian tulis Jumhur dalam Pengantar Surat-surat dari Penjara.

Sosok pemikiran Jumhur muda lebih memperlihatkan dirinya sebagai humanis-radikal. Terkesan ia tak mengenal kompromi. Sikap kritisnya selalu bermuara pada kata kemanusiaan, kepedulian pada rakyat, nasib para petani yang tanahnya digusur, atau kepahitan hidup para buruh yang gajinya tak bisa mencukupi hidup seminggu. Khas suara mahasiswa era 80-an dan 90-an. Di masa Orde Baru, ini menyolok dan disaksikan Jumhur di pelupuk matanya. Rupanya, semangat kerakyatan inilah yang nanti mengantarnya ke bui.

Di tengah kegelisahannya itu Jumhur tak sendirian. Begitu banyak anak muda seusianya yang bermandi lumpur bersama rakyat untuk mengubah nasib mereka. Bedanya, Jumhur bersuara lantang terhadap kekuasaan yang waktu itu tampak angker dan ditakuti. Karena itu, “peristiwa 5 Agustus”, yang menjebloskan Jumhur dan teman-temannya ke bui, menjadi bermakna sebagai perlawanan yang berani dan lantang terhadap rezim yang korup dan menindas.

Jumhur juga ditempa oleh dunia akivisme yang menjadi bagian darah hidupnya. Ia tidak hanya aktif di organisasi internal kampus, di ITB waktu itu, tetapi ia juga aktif dalam berbagai gerakan mahasiswa. Namun, ia tidak hanya aktif dalam organisasi dan gerakan, ia juga menuliskan apa yang ia pikirkan dan rasakan.

“Dari penjara saya sesekali menulis artikel dengan nama samaran ke koran-koran untuk menuangkan apa yang saya pikirkan dan untuk mengkritik kekuasaan,” kata Jumhur menceritakan bahwa ia sering menitipkan tulisannya ke wartawan yang tengah berkunjung atau meliput selama ia dalam tahanan.

Dengan menulis, kegelisahan Jumhur sedikit tersalurkan. Dengan begitu suaranya bisa didengar, dikritik, dan dibicarakan. Tetapi dengan menulis juga, sebenarnya membuat idenya diabadikan dan dikenang, minimal, oleh orang-orang dekat, yang ia cintai dan mencintainya. Ya, Jumhur beruntung, ia didukung oleh keluarganya, terutama ibu dan bapaknya, yang dengan segala pengorbanan dan kekuatan doanya telah mengikhlaskan pilihan hidup anaknya.

Sejak mahasiswa di tahun-tahun awal, Jumhur begitu terpesona untuk “menjadi manusia yang sangat sadar”, sehingga pantas disebut sebagai “kaum intelektual pembaruan”. Di sini ia ingin mengingatkan bahwa kita (baca: mahasiswa) harus sadar dengan ilmu yang dimilikinya. “Sebab jika sedikit saja Anda lengah, Anda akan terjebak oleh keadaan yang membuat Anda terasing dari realitas sosial yang ingin Anda ubah itu,” tegas ayah dari Ahmad Moqtav Hidayat (1,8 thn) ini.

“Kelengahan itu bisa menyebabkan pikiran-pikiran dan ide-ide pembaruan Anda berada pada gerbang perubahan, tetapi akhirnya Anda tidaklah melakukan apa-apa untuk suatu perubahan, dan ini berarti Anda telah kalah. Sudah menjadi tugas Anda untuk merefleksikan terus-menerus antara pikiran dengan realitas sosialnya, dan jadilah Anda manusia terdepan di dalam gerbang perubahan itu,” tulis Jumhur.

Jumhur berkali-kali menulis surat dan mengatakan dengan lantang bahwa ia membenci ideologi pragmatisme. Beberapa aktivis yang seangkatan dengannya bertanya-tanya, apakah Jumhur masih konsisten atau sudah larut dalam ‘ideologi’ yang dulu hendak di lawannya?

Hanya Jumhurlah yang tahu jawabannya. Namun, tekadnya tak banyak berubah. Kepada Biografi Politik, ia mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa perubahan sosial jangan diartikan secara sempit sebagai pergantian pimpinan nasional semata. Baginya, pergantian kekuasaan yang tak disertai pergantian atau perubahan struktur atau sistem menjadi kurang bermakna.

Suara itu masih lantang, minimal tak banyak berubah dari baris-baris catatan penjaranya, yang ia tulis ketika usianya masih cukup muda, 20-an tahun. Masa usia, ketika banyak generasi kini yang justru hanya menjadi pendukung “budaya mall” dan “budaya sinetron” yang banal. Pada usia seperti itu, Jumhur justru berteriak lirih, “Nurani adalah matahari/ Nurani adalah kompas kehidupan/ Nurani adalah guru segala zaman…” ***


Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda